Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau

Menjadi salah satu dari 200an relawan Komunitas Inspirasi Jelajah Pulau batch 4 (KIJP#4), memberi pengalaman seru yang tak pernah saya lupakan.
Pengalaman 1x sebagai relawan Kelas Inspirasi Jakarta #4 (KI Jkt#4), sedikit banyak sudah memberi gambaran apa yang akan saya hadapi di KIJP ini, bedanya hanya lokasi yang saya datangi adalah wilayah-wilayah di Kepulauan Seribu.

Proses recruitment yang hanya 1 minggu, saya manfaatkan untuk menulis essay tentang diri saya serta ilmu apa yang akan saya tularkan pada murid-murid SD dan masyarakat Kepulauan Seribu. Meski proses pendaftaran hingga diterima cukup singkat, tapi tak mengurangi semangat saya untuk segera bertemu teman-teman baru saya.

Seminggu sebelum briefing KIJP#4 saya mendapat email tentang penerimaan saya sebagai relawan. Namun saya baru bisa berkomunikasi dengan teman-teman satu grup, 3 hari sebelum briefing. Oiya, hal yang wajib bagi setiap relawan adalah memiliki akun whatsapp agar komunikasi antar teman satu grup bisa lancar.

Satu orang koordinator, sebut saja Bunga, eh gak ding, namanya Kak Asta Dewanti, adalah koordinator grup saya (grup 6). Selain cantik, beliau juga lincah dalam berkosakata, sehingga walaupun kami antar grup belum saling kenal dan tatap muka, namun percakapan kami bak teman lama yang lagi kasmaran. Hingga rasanya ingin segera bisa kopi darat. Terlebih saya bisa bebas berbahasa Jawa karena mayoritas grup saya paham bahasa yang saya tuliskan. Oiya, grup saya tidak hanya berasal dari wilayah Jabodetabek saja loh, ada Endah yang import langsung dari Surabaya, ada juga Pauline yang dari Bandung, dan Emma dari Cilegon.

Waktu 3 hari menjelang hari briefing itu kami manfaatkan untuk saling memperkenalkan diri, dan mempersiapkan segala keperluan briefing, mulai dari kisi-kisi briefing, kepo pulau mana yang akan kami kunjungi, bahkan potluck dan lunch yang akan kami santap hingga dress-code yang kami kenakan. Tak jarang chit-chat kami lakukan hingga larut malam, entah karena siang kami sibuk dengan pekerkaan kantor, atau memang kami termasuk makhluk nocturnal dan golongan magenta (malam-malam gentayangan).

Hari Minggu, 27 September 2015 adalah hari briefing KIJP#4 bertempat di Gedung Pertamina Pusat. Jadwal yang tertera adalah jam 8. Saya berangkat dari Depok jam 7 kurang dikit, karena hari minggu lalu lintas tidak terlalu padat, maka prediksi saya paling lama waktu tempuh adalah 1 jam.
Sekitar jam 8an saya sudah memarkirkan mobil saya di lokasi yang masih sepi. Ini kali kedua saya menjejakkan kaki di gedung Pertamina, untuk kegiatan serupa (KIJKT#4).

Ketika saya masuk, saya langsung menemukan koordinator grup saya, kak Asta. Meski baru kenal, wajahnya tak asing, karena saya pernah melihatnya sliweran ketika briefing dan refleksi KIJKT#4.
Meski waktu sudah menunjukkan jam 8 lewat banyak, namun acara belum dimulai, bahkan grup saya juga belum lengkap semua. Beberapa orang (Pauline dan Antonius) tidak dapat hadir karena masih terdera kesibukan.

Briefing ini sebenarnya wajib dikuti oleh para relawan, baik inspirator maupun dokumentator. Karena di briefing ini akan membahas: Manajemen Kelas & Teknik Pengajaran LTM (Long Term Memory), Persiapan Menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Pengenalan Singkat tentang Keadaan Pulau, dan Pelatihan Dasar P3K, serta pembagian Pulau untuk tiap grup.

Awalnya saya kira briefing akan selesai sampai jam 1an, ternyata oh ternyata hingga hampir waktu sholat Isya diskusi belum juga tuntas.

Grup saya kebagian untuk menginspirasi di Pulau Panggang, tepatnya di SDN Panggang 03 Pagi. Di Pulau Panggang ini ada 2 grup, grup saya dan grup tetangga yang akan menginspirasi di SDN Panggang 01. Berhubung 2 grup ini akan berada di SD dalam satu lokasi yang sama, maka 2 grup ini melebur menjadi grup Panggang. Malam itu kami mulai mempersiapkan hal-hal yang akan kami lakukan disana berikut kebutuhan materialnya. Meski tak sampai detil, setidaknya kami sudah punya ide besar yang akan kami kerucutkan pada meeting berikutnya. Eh iya, saya pasrah saja ketika dituduh sebagai Ketua Grup 6.

Meeting tatap muka berikutnya kami lakukan pada hari Rabu tanggal 30 September 2015, di Citos after office hour. Tidak semua bisa hadir, namun mereka yang tak hadir masih tetap dapat update progress dan hasil meeting. Oiya, pada hari dan jam yang samapun, ada meeting dengan Kepala Sekolah SD Panggang 01 dan 03 di Sunter yang dipunggawai oleh kak Asta, Endah dkk. Sementara yang di Citos cukup banyak yang hadir, seingat saya ada: saya pastinya, mbak Ning, Yudi, Anggri, Inyus, Hessah, Azizah, Rezki, mbak Pipit, Acha, Rendhy dan…lupa.

Sekitar jam 9an kami yang di Citos selesai meeting. Masing-masing membawa tugas untuk dikerjakan selama sisa waktu pada hari inspirasi. Oiya, saya baru tahu kalo mbak Pipit, rumahnya ternyata tak jauh dari rumah saya di GDC. Jadinya malam itu saya punya temen berbincang sepanjang perjalanan menembus kemacetan ibukota menuju Depok. Meski tak tiap hari kami bertemu, tapi tiap saat kami berdiskusi tentang persiapan ke Pulau Panggang. Yang saya suka dari grup Panggang adalah setiap orang mau bekerja sesuai kapasitasnya, dan jika ada kendala, yang lain siap membantu. Pokoknya top markotop deh grup ini, dan saya bersyukur bisa bertemu dengan orang-orang hebat ini, di tengah kesibukan pekerjaan mereka masih sempat meluangkan waktu untuk tugas mulia.

Pada hari Minggu sore tanggal 4 Oktober 2015, beberapa orang berinisiatif untuk meeting di area tugu Monas. Saya lupa siapa aja, yang jelas ada Mas Rendhy (Ketua Grup Panggang 01) dan mbak Pipit dkk melakukan pekerjaan tangan, menggunting biota laut cita-cita dan printilan lainnya yang menyedot waktu dan tenaga manusia. Selaporan mereka sih melakukan perbuatan itu hingga jam 9-10an malam. Kalian keren…saya pengen kasih tepuk salut…

Rabu 7 Oktober 2015 after office hour, saya menembus lebatnya hujan yang mengguyur wilayah Depok dan Jakarta menuju ke meeting point di kantor kak Rezki di Cisanggiri (belakang Pasar Santa) untuk mem-packing buku-buku sumbangan. Lagi-lagi saya berdecak kagum sama KIJP#4 ini yang mampu menggerakkan saya dan teman-teman untuk bela-belain bersusah payah bermacetria demi tugas mulia. Selama 1 minggu book rising ini berhasil mengumpulkan ratusan judul buku yang siap untuk diserahkan pada perpustakaan SDN Panggang 01 dan 03.

Sabtu 10 Oktober 2015
Tim advance yang terdiri dari Kak Asta, Kak Acha, Kak Inyus, dan Kak Bono berangkat ke Pulau Panggang mendahului saya dan tim relawan lain. Mereka mengkondisikan dan mensosialisasikan pada masyarakat tentang kegiatan yang akan kami lakukan selama di Pulau Panggang. Mereka juga yang mengatur homestay serta makanan kami selama disana. Terima kasih kakak-kakak yang keceh.

Minggu 11 Oktober 2015
Hari yang kami nantikan tibalah sudah. Dari Depok saya berangkat jam 04.30 barengan dengan Mbak Pipit, Mbak Ning dan Mas Rendhy menuju meeting point di Dermaga 21 Pantai Marina Ancol. Berhubung masih pagi, maka lalulintas bisa kami tembus dalam waktu 1 jam. Jam 05.30 kami sudah sampai di Marina. Disana sudah banyak relawan lainnya, ada yang berfoto-foto, ada yang sarapan mi instan (hmm..sumpah ini menggoda), ada yang pipis-pipis ringan dan sisanya ngobral ngobrol sambil hahahihi.
Kami berkumpul pada grup kami masing-masing supaya gampang koordinasi dan absen kehadiran.

Sebelum menapaki kapal, kami briefing sejenak untuk berdoa dan bersumpah serta pembagian kapal (oiya, akhirnya rombongan dibagi menjadi 2 kapal, dari yg awalnya hanya 1 kapal). Kapal pertama menuju Kepulauan Seribu bagian Utara (Pulau Untung Jawa, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Harapan), sementara kapal kedua menuju Kepulauan Seribu bagian Selatan (Pulau Tidung, Pulau Pari…lupa).

Kapal yang saya naiki, bernama kapal Miles (bukan punyanya Mira Lesmana loh ya), menuju Kep. Seribu bagian Utara. Bertolak dari Marina jam 7an, dan sampai di Pulau Panggang jam 10an. Dalam perjalanan diatas kapal, kami banyak yang tumbang akibat ombak yang mengayun-ayun tubuh-tubuh lunglai kami (belum sarapan sih…). Sayapun terpaksa setelah Pulau Untung Jawa harus tepar merebahkan tubuh ini agar stamina tetap terjaga. Meski udah menenggak 1 butir antimo, tapi tidak bisa menghilangkan kemualan saya, masih mending butir-butir Pancasila yang bisa membuat saya pingsan ngapalinnya (dulu ketika masih sekolah…hehehe).

Begitu kapal bersandar, kami sudah disambut kakak-kakak tim advanced yang keceh. Setelah bongkar muat barang dari kapal ke daratan, saya dan kak Rendhy dikalungi bunga (lebih tepatnya karton bekas kemasan yang di lipat zigzag ala akordeon) sebagai penyambutan atas Ketua tim Panggang )1 dan 03. Oiya, sebagai pemotret fenomena sosial, saya tak menyia-nyiakan ketika ada bocah-bocah (yang mirip cumi2) nyebur ke dalam air laut sambil bermain bola. Saya jadi inget masa kecil saya yang juga nyebur, tapi bukan dalam kolam atau laut, melainkan dalam got. Hahaha…

Dari onggokan barang-barang yang kami bawa, yang paling berat dan pe-er banget adalah membawa berkardus-kardus buku yang berjumlah 600an buku. Untung ada gerobak cinta yang bisa disewa Rp 10ribu per kejadian. Cukup membantulah meskipun mendorong gerobak juga harus dilakukan lebih dari 2 orang. Untungnya homestay para lelaki berada tepat di depan Dermaga ini, jadi satu kali lemparan kancut juga udah nyampe, apalagi kalo kancutnya basah (kayak kancut bocah2 yang nyemplung laut itu) daya lemparan bisa makin jauh hingga ke pulo sebrang (sori, agak lebay…hihihi).

Setelah menikmati welcome drink, kami mendorong dan menarik gerobak menuju homestay perempuan dan lanjut ke SDN Panggang 01 dan 03. Ditengah perjalanan, kami menemukan sesosok kakak berinisial WENNY (inisial kok lengkap?) sedang bergegas dalam kegundahan. Ternyata tas-nya yang berisi pakaian untuk menginap selama 3 hari kelupaan diturunin dari kapal. Nah lo? Gimana tuh critanya? Lebaik kita tanyakeun langsung pada kak Wenny yang psikolog itu.

Sehabis menjebloskan kardus-kardus berisi buku-buku ke perpustakaan sekolah, kami langsung makan siang di kosan cewek. Menunya adalah cumi hitam (jadi inget bocah-bocah tadi) dan ikan goreng (entah apa nama ikannya) serta sayur non mayur dan krupuk asli produksi pulo Panggang. Berhubung lapar sangat, jadilah saya santap dengan ganasz itu semua biota laut.

Jadwal hari ini adalah gahul sama masyarakat dan anak-anak Pulau Panggang. Acara akan dimulai jam 3 sore hingga jam 5 sore. Masih ada waktu sekitar 2 jam bagi saya untuk mempersiapkan diri dan istirahat rerebahan gegoleran selonjoran. Waktu sudah menunjukan masuk sholat Dhuhur. Sebagai manusia beriman, saya langsung hendak sholat seraya cuci-cuci badan secara holistik. Tapi pas saya wudhu…oh-em-ji…what happened with my tongue… saya baru tau kalo saya punya sixth sense yaitu bisa merasakan air yang jernih terasa UWAAAASIIIINNNN…. sumpeh, itu asinnya udah kronis dan akut, hingga saya terpaksa mengernyitkan pipi saya yang semu-semu hitam ini. Bukan cuma lidah yang tak kuasa menahan kuasa dan takdir Illahi, tapi juga mata perih setelah ‘raup’ dan sekujur kulit kemulit saya terasa lengket, kayak orang yang lagi kasmaran, lengket terus sepanjang hari seperti gulali. Dan harus siap lahir bathin bahwa kelengketan antara kami dan teman-teman KIJP ini akan berlangsung selama 3 hari kami di Pulau Panggang. Terima kasih Ya Allah atas kenikmatan yang Kau berikan pada kami.

Saat jam di hp saya menunjukan angka 14.30 saya mamatut diri untuk mulai menginspirasi masyarakat Pulau Panggang. Saya kebagian tugas untuk mbacot di Kelas Wirausaha bersama Kak Rendhy, Kak Hessah dan Kak Anggri pada jam 15.00-17.00. Masing-masing dari kami akan berceloteh selama kurang lebih 20 menit dengan materi yang saling berkesinambungan. Sementara itu masih ada 2 kelas lain pada jam yang sama, yaitu Kelas Make-Up yang digawangi oleh Kak Inez dan Kak Dokter Sari; dan Kelas Pengolahan Sampah/Limbah Jadi Berkah yang dipentoli oleh Mbak Ning dan Kak Rezki.

Jadi ceritanya, event di sore ini ingin meng-grab semua masyarakat Pulau Panggang, mulai dari bocah-bocah lincah hingga buyut-buyut imut. Lagi-lagi saya salut dengan teman-teman Tim Panggang yang sudah mempersiapkan dengan gosong semua acara. Idealnya, saat mamah-mamah jenakah dan papah-papah gagah masuk dalam kelas-kelas inspirasi, maka bocah-bocah lincah bisa bermain mainan tradisional semacam gobaksodor, loncatan tali karet, dakon.congklak, gasing, dan bekeul. Setiap bocah yang selesai bermain dalam 1 permainan akan mendapatkan 1 stiker yang jika terkumpul 4 stiker bisa menukarkan dengan berbagai hadiah hasil renggukan di Pasar Asemka. Hehehe… Sedangkan untuk para orang tua yang ga semuanya tua, juga kami sediakan pernak-pernik cantik.

Waktu sudah menunjukan jam 15.40 tapi kok Kelas Wirausaha dan Kelas Olah Sampah tak satupun dihampiri audiens. Hanya Kelas Make Up yang mirip-mirip didatangi manusia, meski tak lebih dari 10 buah. Pesona Kak Inez dan Dokter Sari emang keceh ya. Disaat 2 kelas lain dalam kondisi pasifitas, kelas make-up aktifitasnya menjulang. Ibu-ibu lebih tertarik untuk bersolek manual dibanding digital (pake photoshop ataupun kamera 360 #eh…). Mungkin karena hasil yang mereka dapat bisa langsung terlihat dengan effort yang sesuai. Dibandingkan dengan Kelas Dagang ataupun Kelas Sampah yang sudah pasti perlu otak untuk berpikir dan olah otot untuk bergerak sementara hasilnya masih Wallahualam. Pasrah deh saya…

Tak ingin berdiam dalam kelas yang tak kompetitif, akhirnya Kak Rezki dan Mbak Ning, berinisiatif memutar film yang tak pernah ada di gedung-gedung bioskop manapun. Yang diputar adalah film dokumenter tentang KIJP batch 3 di SDN 01 dan 03 Pulau Panggang. Anak-anak yang melihat cukup terhibur karena di film tersebut berserakan scene-scene yang memaparkan wajah-wajah mereka. Lalu bagaimana dengan Kelas Dagang? Sekitar jam 4an, muncul 2 nenek renta dan tak renta. Yess… Akhirnya kelas yang saya pandu ada audiensnya meski hanya 2 orang. Berhubung sosok yang hadir hanya 2 orang, maka kelas dagang disulap menjadi “Kelas Curhat”. Nenek sejoli itu mengungkapkan keluh kesah terhadap usaha kerupuk ikan, dan manisan rumput laut yang diambang kebimbangan semu karena tak ada lagi generasi penerus usahanya di Pulau Panggang itu. Anak sang nenekpun enggan (bahkan kata si Nenek, anaknya muales bingit dah) menjalankan usaha yang telah digelutinya sejak puluhan tahun silam. Ketika kami coba gali lebih dalam, sang nenek menjawab bahwa mostly masyarakat Pulau Panggang cenderung malas dan kurang punya etos kerja yang kompetitif, mereka cenderung ingin dicekoki di depan mata tanpa usaha yang keras. Sungguh ironi padahal jika usaha kerupuk itu dikembangkan bisa jadi perekonomian di Pulau Panggang sektor perkerupukan ini akan menggeliat, karena ras kerupuk ikan buatan nenek ini sangat enak dan banyak dijual di Pulau Pramuka sebagai oleh-oleh.

Ditengah-tengah keakraban cecurhatan kami, muncul sesosok ibu muda yang kemudian memperkenalkan diri sebagai ibu guru TK. Beliau berasal dari Purwokerta namun sejak menikah bekerja di Cilacap. Beliau, sebut saja Bu Chila (asal kata Cilacap) baru sebulan hinggap di Pulau Panggang bersama suaminya yang Guru Agama di SDN Panggang 01 dan anak perempuannya berumur 9 tahun yang masih SD kelas 4 (eh, kelas 4 atau kelas 3 ya? yang jelas bukan kelas ekonomi, apalagi eksekutif…*lukate kereta api pake kelas begituan).

Bu Chila ini juga nimbrung curhat atas kegalauannya. Hijrahnya dia dari Cilacap ke Pulau Panggang karena SK PNS yang diterimanya bersama suaminya dari Propinsi DKI Jakarta. Isi curhatnya adalah minimnya fasilitas (terutama rumah dinas yang awalnya dijanjikan akan didapat di Pulau Pramuka) serta kegiatan lain selain mengajar untuk mengembangbiakan pundi-pundi rupiah (karena dia di Cilacap punya usaha kerupuk rengginang dan ampyang dan bimbingan belajar). Meskipun audiens kelas saya cuma 3 orang, tapi mereka tiada henti curhat, hingga kami bingung bagaimana menyudahi percakapan semu ini. Pas jam 5 teng, tetiba saya melihat teman-teman relawan sedang foto keuarga di lapangan setelah membubarkan permainan bocah. Sekonyong-konyong jiwa narsis saya meronta-ronta dari lubuk hati yang dangkal, sehingga sayapun melesat ke lapangan dan bergerombol bersama teman-teman…klik..jepret. Saya sampai lupa pamitan sama nenek Samantha (entah namanya siapa, dia hanya menyebut bu Sam) dan 1 nenek lagi serta bu Chila. Agak malu juga sih, kok seolah saya kurang sopan meninggalkan mereka. Namun, kata kak Rendhy, Kak Hessah dan Kak Anggri, justru perilaku saya tadi menyelamatkan mereka dari jerat curhat 3 masyarakat. Hehehe…

Setelah acara dharma bhakti pada masyarakat pulau, kami menuju singgasana tuk beberes, mengusap keringat lama untuk berganti dengan keringat baru (lha gimana gak kringetan terus cobak, udara panas, air asin, sabun tak berbusa),bahkan debu-debu kosmik pun tak enyah 100% dari kulit ari kami. Setelah sholat Ashar (tadi lupa tuk men-jama’ saat Dhuhur) acara selanjutnya adalah menikmati sundown di bibir pantai. Tapi pantai yang saya dan Rendhy hampiri beda dengan pantai yang kebanyakan teman-teman saya kunjungi. Saya di pantai timur, sementara mereka di pantai barat. Ini gara-gara Kak Acha yang salah kasih informasi. Saya juga taunya ketika mengecek WA grup kok foto pantai mereka beda dengan pantai saya. Ya sudahlah…toh saya juga masih bisa meng-capture keindahan sunset pulau Panggang.

Begitu senja udah mulai menggeliat, saya dan Rendhy memutuskan tuk kembali ke kandang sebelum dihalau masyarakat Pulau Panggang yang hendak sholat magrib berjamahan…eh salah, berjama’ah. Masyarakat Pulau Panggang yang mayoritas muslim selalu sholat berjama’ah di masjid besar Pulau Panggang. Jadi sedikit tabu kalo mereka sholat di masjid sementara kami masih kelayapan menyusuri gang-gang dan melalaikan sholat wajib.

Setelah sholat magrib, saatnya mengisi tembolok-tembolok kami dengan karbohidrat protein mineral dan lain-lain. Kali ini makan malam dilangsungkan di bibir pantai timur dengan menu ayam kebakar, ikan panjang (entah apa namanya), buah-buahan dan sayuran. Kami makan dalam gulitanya malam. Hanya secercah lampu kecil yang tak kuasa namun berusaha menyinari wajah-wajah lapar kami. Saya padahal bawa headlamp dari rumah, tapi lupa untuk menempelkannya di jidat ketika dinner berlangsung. Alhasil makan musti berhati-hati supaya gak nelen tulang ayam meski sebagai suami, saya adalah tulang punggung keluarga. *apa hubungannya coba?

Setelah makan, kami membicarakan (mem-fix-kan) rundown acara untuk esok hari supaya berjalan lancar. Kak Asta yang jelita memandu dengan ceria. Tak terasa angin laut mulai menerpa tubuh lelah kami, hingga akhirnya meeting rundown kami sudahi. Mungkin juga karena “Hayati sudah lelah bang…” *mengutip sebaris kalimat andalan kak Asta.

Begitu sampai di kosan, saya langsung gercep menuju peraduan tuk merajut mimpi indah. Meski udara agak gerah namun tak mengurangi kepulasan saya dalam keremangan malam. Beruntung saya mendapat ranjang tak bergoyang yang single sehingga tak terganggu dengan onggokan tubuh-tubuh kelam teman-teman saya. Bahkan ketika kak Navyk dan Kak Bono mendengkur, saya tak terusik karenanya. Hingga kemudian benar-benar saya tak menyadari bahwa hari sudah berganti.

Senin 12 Oktober 2015

Ketika adzan berkumandang dari hp saya. saya sudah terjaga dari tidur. Tapi kali ini saya sholat Subuh dalam rumah saja karena saya lihat pintu rumah dan pintu pagar masih terkunci rapat. Bu Lela dan Pak Uun sih udah bangun tapi belum beraktifitas. Sebagian teman-teman relawan masih terpekur dalam tidurnya yang lelap. Oiya, sejak merasakan asinnya air, saya sekarang kalo wudhu dan sikat gigi pake air mineral. Sejujurnya sih pengen beli air mineral 2 atau 4 galon untuk mandi, sratus rebu sratus rebu dah demi kesehatan kulit. Tapi sejenak berpikir takut mubadzir, akhirnya saya urungkan niat mandi pake air mineral. Kalo sudah begini, lebih baik membayangkan seolah-olah madi di kamar mandi rumah saya saya yang berairkan jernih tawar dan segar.

Pagi ini saya mandi lebih awal agar tidak berebutan dengan teman-teman yang lain. Meski di rumah ini cowok semua dan tidak butuh waktu banyak untuk dandan, tapi ngeri juga kalo kelamaan persiapan hanya karena setiap orang krosing (kroso ngising) yang tak kunjung usai. Setidaknya pagi ini saya dan Kak Inyus sudah siap menapaki SDN Panggang 01 dan 03.
Sambil menuju ke sekolah, kami mampir ke rumah para gadis untuk sarapan. Saya lupa menunya apaan, yang jelas sih kerupuk nenek Samantha tak ketinggalan. Lumayan lah buat mengisi tenaga supaya ketika mengajar di sekolah kami tidak lemah lesu tak berdaya.

Hari inspirasi dimulai dengan upacara bendera bersama. Oiya, berpuluh tahun saya tak pernah melakukan upacara bendera, hanya di KI dan KIJP ini saya berupacara kembali. Saat mengikuti rangkaian upacara, saya teringat kenangan masa silam, menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan khidmat, membaca UUD 45 (saya masih hapal loh mengikuti pembacaan UUD ini) dan lain-lain.

Setelah upacara dilanjutkan dengan penyerahan buku-buku secara simbolis dari para donatur kepada Kepala Sekolah SDN Panggang 01 (oleh Kak Rendhy) dan 03 (oleh Kak Saya, hehehe…). Acara di lapangan pagi ini ditutup dengan Flashmob yang dipandu oleh Kak Acha, Kak Emma dan Kak Hanna serta Kak Anggri. Saat mereka goyang-goyang badan, saya sih moto-moto aja, meski saya bukan sebagai dokumentator tapi hasrat memfoto saya cukup tinggi.

Setelah stretching-stretching, akhirnya semua murid dihalau ke dalam kelas masing-masing. Para relawan berkumpul di ruang guru untuk berdoa dan mempersiapkan printilan yang perlu dibawa ke dalam kelas. Pagi itu jam pertama dan kedua, jadwal saya dan Kak Asta adalah ngobrol sama para guru SDN Panggang 03 mengenai KIJP dan metode pengajaran BOMBER-B. Sementara relawan yang lain siap menyelinap dalam kelas. Diskusi di ruang guru berlangsung lancar, para guru juga menyimak dengan tertib, bahkan kepala sekolah juga antusias bertanya bagaimana cara kalo ingin bergabung sebagai tim relawan. Di hadapan para guru, saya memperkenalkan sebagai Dosen dan Pengusaha, sementara Kak Asta sebagai Pembawa Acara. Jadi paham kan, kalo gada Kak Asta, gada acara, karena dia tuh yang bawa-bawa acara, mirip-mirip dengan pembawa bendera pusaka kali yak.

Setelah istirahat, memasuki jam ketiga, saya mengemban tugas menjelma di kelas 6. Oiya, kelas 6 ini ada 2 kelas paralel, jadi saya kebagian di kelas 6A, sementara kelas 6B dipandu oleh temen saya, tapi lupa siapa. Begitu saya masuk kelas 6A, hanya beberapa onggokan daging kelam yang mewujud dalam kelas, sisanya entah kemana. Denger-denger sih karena jadwal mereka adalah olahraga (saat itu mereka berseragam kaos olahraga) jadi mereka enggan masuk dalam kelas. Olahraga is fun dan outdoor sementara dalam kelas itu membosankan dan perlu berpikir kelas..(eh, tapi ini asumsi saya sendiri loh…).

Saat saya tanya kemana murid yang lain, beberapa anak bilang masih diluar, ada yang jajan ada yang main dan lain-lain kegiatan. Yasudahlah, saya hajar murid yang saat itu ada dalam kelas saja, biarpun jumlahnya hanya bisa dihitung dengan jari (jari orang sekampung) yang penting saya bisa berinteraksi.

Sejujurnya saya cukup takjub dan terperanjat ketika mengajar murid SDN Panggang 03 ini. Berbeda dengan pengalaman saya ketika mengajar SDN Manggarai 17 Pagi. Anak Pulau mempunyai perangai yang agak keras dan cenderung membangkang. Saya kaget ketika hampir setiap anak di kelas itu berbicara cukup kencang (mungkin 100 desibel, haha..), emangnya saya gagu apa… (kok gaguk?). Ketika saya peringatkan untuk berbicara pelan saja, tapi mereka masih aja bervolume dahsyat. Yaweslah, mungkin memang pita suara dan congor mereka didesain untuk loud speaker.

Bukan cuma suara mereka yang keras, tapi perilaku mereka juga berbanding lurus dengan volume suara, sama kerasnya. Hingga saya kewalahan meladeni mereka, terutama murid-murid laki-laki yang lincah bak bola basket. Sample produk yang menjadi bahan ajar saya pun tak jarang mereka sembunyikan hanya karena ingin mengunyah isinya (waktu itu saya bawa keripik pisang berbagai rasa). Nampaknya nilai-nilai kejujuran belum terpatri secara agregat disana, atau mungkin benih-benih klepto sudah tersemai sejak dini. Oh No, semoga saja tidak demikian.

Disisa waktu saya mengajar, saya meminta mereka menggambar kemasan Keripik Pisang. Meski hanya sketsa, tapi cara ini cukup efektif membuat mereka berdiam sejenak hingga pergantian waktu.

Dari kelas 6A saya menuju kelas selanjutnya yaitu kelas 3. Tadinya saya membayangkan anak-anak kelas 3 ini berperilaku serupa dengan anak kelas 3 SDN Manggarai 17 Jakarta. Ternyata….mereka lebih mirip kakak kelasnya…lincah dan hiperseks, eh salah, hiperaktif…. Hingga akhirnya saya berkesimpulan bahwa rata-rata anak Pulau Panggang mempunyai perilaku yang keras dan sangat aktif dengan tenaga ekstra, mungkin karena asupan gizi mereka sehari-hari berupa biota laut (ikan laut, cumi, udang, dll) sehingga konsumsi protein berlebih membuat mereka penuh gairah yang mendalam.

Ketika saya masuk kelas 3 ini sedang terjadi ke-chaos-an. Anak-anak lari berhamburan dalam kelas, tak bisa diam, bersuara lantang dan tak menghiraukan bahwa di depannya ada lelaki tampan siap merasuki mereka dengan nilai-nilai positif dan kesuksesan. Yah.. namanya juga anak-anak. Tapi kayaknya saya dulu ndak seliar itu deh. Jaman sudah berubah kali yak…

Pas lagi enak-enak ngajar, tetiba ada 2 anak berantem, anehnya yang cowok kok malah nangis ya? Yang cewek malah mempan, namun tak lama kemudian yang cewek juga ikutan nangis karena beberapa temannya yang cowok menyalahkannya. Dikelas ini juga ada anak yang superhiperaktif, saya suruh dia duduk di bangkunya, dia tak bergeming, malah memukuli saya dengan tangan mungilnya. Teringat saat briefing “bagaimana menghadapi ABK (anak berkebutuhan khusus)” yang hiperaktif, maka sayapun menerapkan pelajarannya. Alhamdulillah, it works. Sekitar 5-10 menitan saya baru berhasil menguasai kelas yang sangat dinamis ini. Jurus ampuh membuat mereka duduk (meskipun gada manis2nya ya, hehehe) adalah dengan mengajak mereka menggampar bersama, eh salah, menggambar bersama. Berhubung materi yang saya sampaikan adalah tentang profesi desainer kemasan, maka saya ajari mereka bagaimana membuat sketsa desain kemasan keripik singkong. Setiap anak yang selesai menggambar, saya apresiasi dengan nilai 8 (Baik). Hingga tak terasa Kak Asta sudah berdiri tegap di pintu kelas 3, pertanda bahwa saya sudah harus hengkang dari dalam kelas.

Jadwal saya selanjutnya adalah berbaur di kelas 6B. Tapi ternyata kelas 6B sudah direnggut sama Emma dan Tia. Mungkin Emma lama menunggu saya kok ga muncul di kelas 6B, sehingga dia berinisiatif menggabung kelas 6A dan 6B agar tidak chaos. Okelah kalo begitu. Saya mlipir ke kelas 5 yang dipandu oleh Kak Hanna. Sepertinya setiap kelas (dari kelas 3 sampai 6) harus closing acara. Teman-teman relawan sibuk menyiapkan: surat cita-cita, sertifikat cita-cita, biota laut cita-cita, dan menempelkannya pada semacam poster berukuran A2 sebagai kumpulan cita-cita per kelas.

Surat cita-cita mereka dimasukan dalam kotak pos buatan tim relawan, dan surat itu nanti akan diberikan ke orangtua setiap murid saat pembagian raport. Dengan begitu diharapkan deramah antara orangtua dan anak akan dimulai. Orangtua akan mendukung cita-cita anaknya.

Sekitar jam 12an, acara sudah beres. Kami para relawan berfoto bersama para guru dan pegawai lainnya. Tapi masih ada tugas dari para relawan yang belum tuntas, yaitu meng-stempel buku-buku hasil donasi yang belum sempet distempel. Gak begitu banyak sih, jadi cepet ngerjainnya.

Saya lupa jam berapa persisnya acara di sekolah ini beres, tapi kayaknya masih waktu Dhuhur kok. Saat menuju pulang, kami mampir dikosan cewek untuk lunch togetha’ sambil crita-crita keseruan mengajar tadi, terutama bagi yang baru pertama kali ikut KI/KIJP pasti takjub dengan apa yang dialaminya barusan.

Setelah lunch, kami leyeh-leyeh dan istirahat sejenak meluruskan pikiran dan raga. Sore ini kami punya acara nyebrang ke Pulau Pramuka. Niatnya sih cari oleh-oleh atau apalah yang penting bisa rileks. Tapi ternyata kami hanya muter-muter dan melihat penangkaran penyu. Eh tapi, di Pulau Pramuka ini tim Panggang 03 di syut oleh Kak Adit tentang kesan pesan dan testismoni KIJP.

Saat sundown, kami menuju dermaga. Disana kami temukan tim relawan kelompok Pulau Pramuka. Saya hanya kenal Chiqita Fawzi yang sedang bernyanyi bersama anak-anak Pulau Pramuka.

Tadinya niat kami setelah sunset, langsung kembali ke Pulau Panggang. Tapi ternyata kami masih ingin menikmati geliat senja Pulau Pramuka. Acara malam ini yang sejatinya silaturahmi dengan Karang Taruna Pulau Panggang, terpaksa batal, bukan karena kami, tapi karena ketua kartar itu PHP sehingga kami lebaik nongkrong dan refleksi di Pulau Pramuka, ditemani hidangan mi instan dan kopi/teh panas yang syahdu. Teras dermaga Pulau Pramuka menjadi saksi nyata obrolan kami tentang KIJP ini. Setiap orang bisa mengemukakan pendapat dan opininya demi perbaikan KIJP selanjutnya. Sebagai ketua tim Panggang 03, sayapun didaulat untuk nyerocos tentang KIJP. Saya sungguh senang dan terharu punya teman-teman hebat seperti tim relawan KIJP ini. Mereka rela bekerja keras, meluangkan waktu dan biaya demi anak Indonesia yang lebih baik. I love you all dah pokokna.

Ketika malam mulai larut, dan perut kami pun sudah mulai ndangndutan minta diisi, kami memutuskan untuk hengkang dari Pulau Pramuka ke Pulau Panggang, singgasana kami di KIJP. Naik perahu ojeg malam-malam melintasi laut dalam temaram, sungguh menakutkan buat saya, terlebih saya tak bisa berenang. Mana ombak malam di beberapa titik cukup mengayunkan perahu kecil kami. Perjalanan dari Pulau Pramuka ke Pulau Panggang hanya sekitar 15-20menit, tapi kalo diliputi rasa takut, serasa lama nian. Tapi Alhamdulillah, kami tiba dengan selamat di Pulau Panggang. benart-benar pengalaman yang berharga bagi saya.

Acara selanjutnya adalah hore-hore makan malam. Meski tadi saya sudah menyantap mi goreng instan, tapi kalo belum nemu nasi, rasanya belum makan. Setelah hahahihi dan makan malam, kamipun bersiap dan bebersih diri untuk tidur yang nyenyak. Oiya, saat makan malam ini, beberapa murid SDN Panggang menghampiri kami dan berusaha mengakrabi kami. Mereka seolah ingin berbaur dengan kami, kakak-kakak relawan yang baik hati dan cerdas sekali. Hehehe…

Malam itu saya kembali tidur dengan lahap, eh nyenyak. Meski setelah mandi masih gerah dan lengket, tapi kelelahan mengalahkan rasa itu. Malam itu cita-cita saya adalah esok hari bisa segera tiba di rumah dan mandi sepuasnya dengan air tawar, keramas dengan sampoh yang busanya empuk kayak sofa (eh, ini busa sabun yak, bukan busa karet), pijet refleksi dan kalo perlu luluran (kalo yang ini enggak ding).

Selasa 13 Oktober 2015

Seperti biasa, suara adzan di hp saya dan juga di masjid yang letaknya berdekatan dengan kosan kami, membangunkan saya dari tidur nyenyak. Setelah sholat subuh, yang lagi-lagi saya lakukan single, saya mulai mengemasi barang-barang saya. Pagi ini saya tadinya mau mandi, tapi karena terpengaruh sama Kak Rendhy, akhirnya saya ndak jadi mandi. Mandinya nanti aja postpone sampai di rumah.

Jadwal kapal yang akan mengangkut kami adalah jam 8 pagi bersandar di Pulau Panggang. Kalo sekarang jam 5an, berarti kami masih punya waktu 3 jam untuk menikmati alam Pulau Panggang. Yah..pagi itu kami berburu sunlight (bukan sabun cuci piring loh ya, tapi sinar mentari pagi, alias sunrise). Posisi yang kami tuju adalah pantai timur yang menghadap ke Pulau Pramuka. Udara pagi lumayan dingin meski tak sesejuk pegunungan. Kami menyusuri catwalk di dermaga. Awalnya kami sedikit kecewa karena matahari tak kunjung nongol, namun lamat-lamat sinarnya mulai menyeruak dan matahari yang tersaput mega pun mulai tampil centil. Pagi itu adalah pagi yang indah bagi kami, meskipun tak satupun yang udah mandi (sssttt… bahkan ada yang 2 hari gak mandi loh) tapi semua nampak keren, mungkin karena kami semua punya inner beauty yang memancar tak terbendung ya.. seperti pancaran sinar mentari pagi itu. Keakraban kami pagi itu sempat diabadikan oleh beberapa tim relawan. That’s a great moment.

Kira-kira jam 6an kami menuju kosan perempuan tuk mengisi lambung-lambung kami yang berongga. Sarapan kali ini adalah nasi goreng, seperti yang saya cita-citakan ketika di pantai. Tak pernah ketinggalan adalah kerupuk ikan produksi nenek Samantha. Saya makan dengan lahap karena mengingat perjalanan yang akan saya tempuh nanti lumayan jauh dari perdagangan umum di laut.

Selesai sarapan, saya ke kosan dan merapihkan barang-barang serta membersihkan sampah yang berserakan (biar ibu kos gak kapok ditamui kami). Meski tak mandi, tapi saya sikat gigi dan cuci muka kok, supaya kalo difoto masih bisa meraih ke-genic-an dalam olah digital. Sambil menunggu jemputan kapal, saya mulai mengcaptured situasi seputar dermaga. Foto-foto itu akan berbicara pada masanya kelak bahwa saya pernah singgah di Pulau Panggang.

Jam 8 lewat dikit, kapal mulai menyeruak laut sekitar dermaga Pulau Panggang. Kami disambut oleh tim Pulau Harapan yang sudah terlebih dahulu menjejali kapal. Mereka masih riang dan berenergi menyanyi dan berjoget diatas buritan moncong kapal (eh bener gak sih itu buritan..). Berhubung masih ada beberapa pulau yang harus kami hampiri, maka waktu loading barang dan penumpang tidak boleh lama-lama, kasihan tim yang lain. Untungnya bawaan kami saat pulang tidak sebanyak ketika berangkat. Buku-buku yang berjumlah 600an buku itu setidaknya mengurangi bobot kapal.

Di kapal ini, tim Panggang berada di area belakang atas (mirip-mirip teras sih). Angin laut lumayan kencang sehingga kami tak kegerahan, malah saya takut masuk angin. Perjalanan dari Panggang ke Marina sekitar 3 jam, waktu yang cukup untuk tidur-tidur manja sembari memulihkan tenaga. Alih-alih mengantisipasi mabuk laut, sayapun memilih posisi rebahan untuk waktu yang mayan lama. Dan benar, perjalanan pulang tidak semenyiksa seperti perjalanan berangkat. Hanya lapar dan dahaga saja yang mendera kencang.

Kapal kami sampai di dermaga Marina Ancol sekitar jam 11-12an. Cuaca panas dan terik. Saya bersama Mbak Ning, Mbak Pipit dan Kak Rendhy menyewa taksi Uber untuk mengantarkan kami hingga ke depan pintu rumah masing-masing. Alhamdulillah, meski weekday, tapi jalanan yang kami lalui tidak macet, sehingga kami bisa sampai rumah dengan cepat. Rute adalah nganter kak Rendhy, mbak Ning, saya dan terakhir mbak Pipit.
Beberapa tim relawan yang naik kereta juga guyub berbarengan. Mereka malah sempat makan siang dulu sebelum berebutan naik kereta.

Begitu nyampe rumah, legaaaaa… rasanya pengen buru-buru cibang-cibung dan nyemplung dalam bak mandi. Terima kasih Ya Allah atas karunia-Mu setiap hari bisa mandi dengan air bersih. Terima kasih juga telah Kau pertemukan aku dengan orang-orang hebat di KIJP. Semoga pertemanan kami semakin erat dan membawa kami sebagai bagian golongan orang-orang yang Kau ridhoi. Aamiin.

“Cita-cita berawal dari MIMPI. BANGUN dan WUJUDKAN mimpimu menjadi NYATA, agar tidurmupun BERMAKNA” (Sonson)

Tunggu cerita KI dan KIJP selanjutnya ya.
Sonson October 2015.

Leave a comment