KI Tangsel goes to LPKA Tangerang

Hari Senin 30 April 2018, saya berkesempatan berinteraksi langsung dengan anak-anak binaan di LPKA Kelas 1 Tangerang. Acara yang digagas oleh Kelas Inspirasi Tangerang Selatan ini membawa 23 orang relawan pengajar dari berbagai macam profesi dan dibantu oleh 19 orang relawan panitia dan fasilitator.

Tidak terlalu banyak yang perlu kami persiapkan untuk kegiatan ini karena sebagian besar sudah pernah ikut Kelas Inspirasi sebelumnya, jadi masing-masing sudah pada tahu harus berbuat apa. Paling yang membedakan adalah anak-anak yang akan kita ajar bukanlah anak-anak SD seperti biasanya, melainkan anak-anak penghuni LPKA dimana mereka mempunyai catatan kriminal dan harus mengalami pembinaan untuk jangka waktu tertentu.

Untuk masuk ke dalam area LPKA ini cukup ketat. Tidak boleh membawa handphone dan kamera (kecuali yang bertugas sebagai fotografer). Dihimbau untuk tidak menanyakan tindak kejahatan apa yang sudah mereka lakukan hingga mereka berada disitu. Disarankan untuk bisa berbaur dengan mereka dan menganggap mereka ada teman kita pada hari itu.

Anak-anak binaan LPKA ini berjumlah 91 orang, berusia antara 14 tahun hingga 18 tahun dengan rentang pendidikan dari SD sampai SMA/SMK bahkan ada juga yang sudah lulius SMA/SMK. Biarpun ada yang masih pada level pendidikan SD, tapi usia dan fisik mereka lebih pas berada pada level SMA. Jadi jangan kaget kalau berkesempatan masuk di kelas SD ternyata muridnya sudah pada kumisan dan tinggi badan seperti anak SMA. Inilah yang saya alami ketika mendapatkan kelas berbagi dengan anak SD, ternyata anak-anaknya udah bangkotan. Hehehe

Hari itu, kami para relawan dibagi menjadi 7 kelompok, dimana setiap kelompok berisi sekitar 3 – 4 orang relawan dan fasilitator. Setiap kelompok akan mengajar kelas berisi 15 – 20 anak yang terdiri dari campuran anak SD hingga SMA (karena pembagian secara acak). Tapi anehnya, kelas yang saya ajar semuanya berisi anak-anak SD. Tak satupun anak SMP dan SMA yang seharusnya ada didalam kelompok tersebut. Ya sudahlah kalau memang itu kemauan mereka. Mungkin memang mereka lebih nyaman berada dalam kelompoknya. Tak apa, yang penting saya dan teman-teman tetap bisa berinteraksi langsung dan berbagi cerita dengan mereka.

Awal perkenalan di aula, suasana cukup riuh karena setiap anak sepertinya ingin diperhatikan. Mereka banyak melontarkan celoteh-celoteh. Meskipun demikian, suasana tetap terkontrol dengan baik berkat bantuan para petugas yang bekerja di LPKA. Saya perhatikan beberapa wajah mereka dengan seulas senyum agar mereka dan saya nantinya bisa merasa nyaman selama berinteraksi. Ada rasa deg-deg-an juga sih karena (mungkin) stigma sebagai penghuni LP adalah orang-orang yang melakukan tindak kejahatan dimasa lalunya. Tapi  berhubung niat saya dan teman-teman tulus ingin berbagi, maka stigma itu berhasil kami tepis.

Setelah pembagian kelompok, kami para relawan masuk ke dalam kelas bersama anak-anak sesuai pembagiannya. Pada awal kami mengajar, anak-anak kembali berperilaku mengganggu dengan celotehan yang sering keluar setiap kali kami mengajar. Meski mereka diam di tempat, tapi suara-suara kerap kali muncul dari mulut-mulut mereka. Untungnya hal ini tidak berlangsung lama karena setelah menit kesepuluh kami mengajar, anak-anak mulai tertib dan menyimak apa yang kami sampaikan.

Kelompok saya ada 4 orang relawan: Kak Eva (dosen sastra), kak Yanti (wirausaha), kak Andika (auditor pangan), dan saya sendiri (pengusaha dan dosen). Kak Eva mengajari anak-anak bagaimana persiapan sebelum membaca puisi, mulai dari pernafasan, artikulasi, hingga ekspresi dan gesture. Kak Yanti bercerita bagaimana cara membangun usaha mulai dari nol. Anak-anak banyak yang tertarik dengan cerita kak Yanti karena sebagian besar mereka bercita-cita ingin menjadi pengusaha. Kak Andika, bercerita tentang makanan yang halal dan haram. Sementara saya mengajak mereka bermain ular tangga kewirausahaan. Meskipun bermain, namun ada nilai-nilai dan strategi yang terkandung dalam permainan tersebut.

Tak terasa waktu 2 jam sudah kami gunakan. Saatnya kami berkumpul kembali di aula untuk penutupan. Ternyata kelompok saya termasuk kelompok yang paling cepat selesai, sementara kelompok lain masih banyak yang mengajar di kelas. Sambil menunggu kelompok lain selesai, saya berinisiatif untuk menyediakan sesi curhat atau tanya jawab apa saja. Masih banyak yang malu-malu untuk curhat secara kolosal. Mereka lebih nyaman kalau bercerita yang sebisa mungkin tak didengar oleh temannya, mungkin karena suasananya akan lebih khusuk kalau lebih private. Akhirnya saya menyodorkan selembar kertas kecil beserta bolpen agar mereka menuliskan harapan-harapannya setelah lulus dari LPKA.

Kertas-kertas yang sudah mereka tulis, saya kumpulkan. Saya baca satu persatu setiap lembarnya. Ada rasa haru ketika membaca kalimat-kalimat yang mereka tulis dengan jujur. Hampir semua menulis ingin hidup lebih baik lagi, ingin membahagiakan orang tua, dan ingin punya masa depan yang cerah. Ada satu kertas yang membuat saya terhenyak ketika membaca harapan salah satu anak yang ingin hafal 30 juz Al-Qur’an, masya Allah. Saya akan selalu ingat anak ini karena banyak bercerita tentang dirinya. Anak SD yang hafal 13 juz dan yatim piatu ini ingin menjadi penyanyi sekaligus Qori. Saya dan teman-teman akan meng-aamiin-kan doa-doa baik kalian. Bagi kami “Tak ada cita-cita yang mustahil dan tak ada usaha yang sia-sia”. Kita tidak akan pernah tahu dalam 5 tahun atau 10 tahun ke depan mereka mungkin akan benar-benar bisa mewujudkan cita-citanya. Seburuk apapun masa lalu mereka, masa depan mereka masih bersih. Mereka berhak untuk menjadi baik dan bermanfaat bagi sesama.

Setelah semua kelas selesai, saatnya sesi penutupan dipandu oleh Kak Asta dan Kak Hety. Duet kakak ini yang memandu acara penutupan agar lebih khusuk, dengan melakukan afirmasi pada diri setiap anak-anak LPKA. Anak-anak yang sudah menuliskan cita-citanya pada pin medali diminta berpasangan dan saling mengalungkan medalinya, sebagai bentuk kepedulian dan persaudaraan agar bisa selalu mengingatkan cita-cita baik mereka. Meski tak sesuai yang diharapkan 100% tapi saya melihat pada sebagian anak-anak hal ini cukup menyentuh.

Pemakaian medali itu adalah acara pamungkas bareng anak-anak. Setelahnya anak-anak diberi snack dan berhamburan ke kamar masing-masing. Sementara kami para relawan melakukan sesi refleksi terhadap apa yang sudah kita lakukan hari ini. Sekalian berbagi cerita dan merencanakan langkah apa selanjutnya yang bisa kita perbuat agar kegiatan ini tidak berhenti sampai disini. Cerita dari satu relawan (sebut saja Eben, bukan nama samaran) cukup menyentuh, dimana ada satu anak yang hampir seluruh waktu sangat mengganggu kelangsungan acara di dalam kelas. Namun pada akhirnya, dengan pendekatan yang pas, si anak ini bercerita bahwa nanti ketika dia lulus dari LPKA, dia akan menginspirasi banyak orang dengan kebaikan-kebaikan seperti kami lakukan pada hari itu. Aamiin.

Saya bangga dan senang berada dalam lingkungan teman-teman yang selalu berpikiran dan melakukan aksi positif. Mungkin kita tidak ada apa-apanya di dunia ini, tapi bisa jadi kita adalah dunia bagi mereka yang telah terinspirasi atas langkah kecil kita. Teringat quote bijak teman baik saya (Dona), “Tidak ada hal yang kecil jika itu menjadi berarti”.

sonson 2018

8 responses to “KI Tangsel goes to LPKA Tangerang

  1. Subhanallah luar biasa Cak Son. Semoga hidupnya dipenuhi keberkahan & terus tetap menginspirasi

  2. Wih keren pak ! Gak ada kata terlambat buat belajar, mereka aja masih semangat ya pak walau udah terlambat SD ny, jadi termotivasi.. 😁 Keep Inspiring, Pak !! 👍🏻

Leave a comment